Selasa, 24 Juni 2008

pelajar brutal

Selain osis, kini ada forum komunikasi pelajar jakarta (fkpj). sebagai wadah untuk berembuk dan mengisi kegiatan bersama. pengurusnya diambil dari setiap sekolah di jakarta. dibimbing kanwil dep.p & k

HALAMAN Kantor Wilayah Departemen P dan K Jakarta, Minggu pagi lalu, dikerumuni sekitar seribu pelajar sekolah lanjutan tingkat atas. Mengenakan kaus bertuliskan “Berprestasilah Pelajar Jakarta”, mereka tentu saja tidak berlaga dengan batu, tinju, atau senjata tajam. Mewakili 250 sekolah di Ibu Kota, para remaja itu berniat akan menjadi anak yang “baik-baik”.

Para pelajar, dengan bimbingan Kanwil, bertekad menjalin wadah untuk berembuk dan mengisi kegiatan bersama. Nama wadahnya, Forum Komunikasi Pelajar Jakarta atau FKPJ. “Pihak Kanwil hanya mengawasi dan membina dari belakang,” kata Soegiyo, Kepala Kanwil Departemen P dan K Jakarta, di sela-sela kerumunan para pelajar.

Wadah itu memang bukan untuk menyaingi OSIS (Organisasi Siswa Intra-Sekolah). Forum tersebut melibatkan lebih dari satu sekolah. Pengurusnya dipilih dari setiap sekolah. Kegiatannya juga tak cuma berkutat di lingkungan sekolah seperti OSIS. “Kegiatan OSIS tetap ada, dan FKPJ lebih luas pesertanya,” kata Dede Sutardi, Ketua OSIS STM 3 Jakarta, yang ditunjuk menjadi koordinator FKPJ.

Forum itu, 21 Oktober nanti, akan ke Balai Kota. Mereka akan membaca ikrar — seperti diucapkan dalam geladi bersih Minggu lalu — antara lain, “… Kami, pelajar Jakarta, mencintai persatuan dan kesatuan dalam semangat persaudaraan ….”

Serangkaian acara sudah disiapkan forum pelajar antarsekolah itu. Misalnya mereka akan menempel stiker simpati di setiap bis umum yang beberapa waktu lalu sering dijadikan ajang kebrutalan. Juga akan disebarkan brosur bahwa pelajar Jakarta siap menciptakan ketertiban.

Rangkaian gerakan lewat forum pelajar itu terutama untuk mengatrol citra mereka yang sudah babak belur karena ulah beberapa oknum, seperti berkelahi, menganiaya, atau merusak fasilitas umum.

Dalam minggu-minggu belakangan, orang mesti hati-hati bila ada “laskar” berseragam putih abu-abu beraksi. Seakan orang sudah merasa perlu mengenakan rompi anticelurit atau helm penangkis puing bangunan. Sebab, bila terjadi tawur, sasaran senjata “laskar” tadi sering tak pilih kasih. Sopir, kondektur bis kota atau penumpang, bisa kena sial.

Misalnya saja kebrutalan pelajar di bis tingkat jurusan Blok M-Kalideres akhir Agustus lalu. Sekitar seratus pelajar SLTA yang naik di depan Ratu Plaza — beberapa di antaranya bersenjata tajam — menolak membayar ongkos. Mereka malah menjambret kalung penumpang dan secara brutal menghajar bis dengan batu.

Setelah itu, kebrutalan pelajar muncul di mana-mana. Sasaran mereka bukan cuma “lawan” pelajar dari sekolah lain. Seorang kernet bis PPD, M. Silaban, terpaksa dioperasi rahangnya gara-gara dikeroyok 50 pelajar (TEMPO, 8 September 1990).

Menurut catatan, prestasi kenakalan pelajar terlihat merangkak naik. Pada 1989 lalu, jenis perkelahian dan kasus pelanggaran hukum — misalnya penganiayaan atau perampokan terjadi 162 kali. Yang diseret ke pengadilan 28 orang. Tahun ini, hingga Agustus sudah tercatat 105 kali. Yang digiring ke pengadilan 27 orang. Ada lagi 10 pelajar dipecat dari sekolah karena terlibat ulah brutal itu.

Tak kurang dari Pangab Jenderal Try Sutrisno, yang menilai bahwa berbagai bentuk tindakan brutal pelajar Ibu Kota belakangan ini sudah menjurus ke tindakan kriminal murni. Maka, kata Pangab ketika mengadakan dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Selasa pekan lalu, tindakan pelajar itu perlu ditanggulangi dengan tindakan tegas.

Sementara itu, Menteri P dan K Fuad Hassan lebih melihat apa yang menyebabkan pelajar berkelahi dan bertindak brutal. Menteri, dalam acara rapat kerja dengan Komisi IX Senin pekan lalu, menunjuk pengaruh lingkungan dan bukan semata dari diri si pelajar sendiri. Sebagai misal, Fuad menyebut pengaruh sekolah yang kurang tertib.

Memang. Musyawarah Sekolah pada 1989 pernah meneliti penyebab kenakalan pelajar di 150 SLTA negeri Jakarta. Sekitar 88% sekolah mengakui lingkungan yang kurang beres telah mendorong mereka berkelahi atau brutal. Bahkan 93% setuju karena disiplin di sekolah sangat lemah. Misalnya, terlalu banyak jam kosong karena guru terlambat atau tak datang sama sekali. Nah, waktu senggang ini lantas membuka peluang anak-anak untuk kabur dan berbuat onar. Masih ada lagi yang dituding sebagai penyebab, yakni hubungan dengan orangtua yang tak harmonis. Ini didata dari 91% sekolah yang menjadi responden penelitian itu.

Namun, Soegiyo, yang kini sibuk menyusun kiat mengatasi kenakalan pelajar, melihat ada sisi lain yakni kondisi sosial Jakarta yang sangat kompleks. Misalnya, angkutan umum yang belum mampu mendukung kebutuhan pelajar. Orangtua pun dianggap kurang memberi kesempatan kepada anaknya untuk mandiri lebih awal sehingga anak-anak itu bernyali kecil. Buktinya, mereka baru berani berbuat brutal kalau keroyokan.

Dalam pengakuan beberapa pelajar, biasanya mereka ikut berkelahi karena setia kawan. Juga karena malu diejek sebagai pengecut oleh temannya. Atau merasa dirinya jagoan dan biar disegani. Kadang-kadang, sebelum berkelahi, mereka malah suka meneguk obat “pemberani”. Selesai tawuran, dengan asyik mereka menceritakan kepada teman-temannya. Itulah kebanggaan pelajar.

Forum pelajar Jakarta itu dirancang untuk menyalurkan kebanggaan juga. Tentu saja bukan di pergelaran perkelahian antarsekolah atau mengobrak-abrik bis kota. Mereka menyiapkan kegiatan yang bisa menampung kebersamaan dan kerukunan antarpelajar, misalnya berkemah, kerja bakti, atau olahraga. Kanwil Departemen P dan K di Jalan Gatot Subroto menyediakan salah satu sudut kantornya untuk markas para pelajar itu. Siapa tahu, mereka lebih jinak setelah saling kenal.

Sumber : (Gatot Triyanto) Majalah Tempo, Edisi. 31/XX/29 September - 05 Oktober 1990

[SB] Tags : ,




Tidak ada komentar: