Kamis, 03 Juli 2008

tugas pengantar pendidikan.nilai etika dan estetika


Kamis, 3 Juli 2008

I P T E K & L I N G K U N G A N

No. 5869


Halaman Utama
Tajuk Rencana
Nasional
Ekonomi
Uang & Efek
Jabotabek
Nusantara
Luar Negeri
Olah Raga
Iptek
Hiburan
Feature
Mandiri
Ritel
Hobi
Wisata
Eureka
Kesehatan
Cafe & Resto
Hotel & Resor
Asuransi
Otomotif
Properti
Budaya
CEO
Opini
Foto
Karikatur
Komentar Anda
Tentang SH



Tayangan TV Indonesia Jauh dari Etika dan Estetika



Pangkalpinang – Seorang sastrawan, Iman Soleh menilai, program tayangan televisi swasta di Indonesia jauh dari sistem nilai-nilai etika serta estetika, sehingga bila dibiarkan terus begini akan merusak tatanan sosial dan kebudayaan bangsa.
“Televisi Indonesia yang mengedepankan budaya sentralistis (metropolis Jakarta) adalah televisi dengan jangkauannya terpanjang di dunia, karena sampai ke pelosok-pelosok desa, sehingga jangan heran kini terjadi kekerasan budaya dan ekonomi di daerah,” ujar Iman, sastrawan asal Bandung itu di Pangkalpinang, Jumat (11/4).
Ia menunjuk contoh siaran televisi apakah berita kriminal atau iklan yang sarat pornografi dan porno aksi, seenaknya ditayangkan pada pagi hari saat anak-anak menjelang pergi sekolah. Tidak ada pengaturan siaran yang bisa membantu anak-anak dari kemungkinan tertular budaya metropolis yang memenjarakan masa depan anak-anak.
“Tayangan tersebut jauh dari etika dan estetika, sebagai akibat tidak adanya pengaturan jam tayang terhadap televisi,” ujar Direktur Artistik Celah-Celah Langit (ACC), sebuah komunitas sastrawan dan masyarakat pencinta sastra di Bandung.
Seharusnya, menurut Iman Soleh, siaran televisi mengedepankan pendidikan seperti di negara-negara maju. Sekadar diketahui siaran TV Prancis, Australia, Jepang dan negara-negara lainnya ada pengaturannya, untuk menyelamatkan generasi mudanya.
“Dalam siaran sentralistis, tayangan yang dianggap lumrah oleh orang Jakarta, belum tentu bisa dikonsumsi orang-orang yang berada di luar Jakarta. Artinya, kita selalu memandang dalam kacamata sama, padahal setiap daerah itu tidak bisa diseragamkan karena mereka memiliki tatanan adat dan budaya asri yang muncul dari daerah itu, bukan dari Jakarta,” ujarnya.

Peran KPI
Iman Soleh mengatakan, sebenarnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki peran mengatur jam tayang televisi dan melakukan sensor terhadap tayangan-tayangan yang tidak layak dikonsumsi publik. Namun, KPI jadi macan “ompong”, tak berdaya, saat dihadapkan pada bisnis pertelevisian yang kapitalis.
“Saya melihat KPI belum menjalankan peranannya dalam melakukan pengawasan terhadap penyangan siaran televisi dan mereka sepertinya tidak punya taji karena harus mendobrak bisnis kapitalis,” ujar Iman.
Sastrawan lain yang juga penyair, Cecep Syamsul Hari, mempertegas, bahwa televisi dalam perjalanannya selama ini telah memberikan kontribusi dalam mempublikasikan citra-citra yang tidak mendidik, karena porsi tayangannya lebih banyak tentang pertengkaran, percintaan dibanding siaran-siaran yang sifatnya mendidik dan kearifan.
“Untuk membendung itu sangat sulit, karena bisnis televisi cenderung mengarah kepada kapitalis. Pengaturan itu hanya bisa dilakukan di tengah keluarga yakni mematikan televisi pada jam-jam tertentu berhubung KPI tidak bisa lagi diharapkan sebagai sebuah pranata pengawasan siaran di Indonesia,” ujarnya.
(ant)






Copyright © Sinar Harapan 2003














Tidak ada komentar: